“Iya, tapi dulu kan kita juga gitu”
“Memang, kalau dulu memang begitu”
Itulah sepenggal perdebatan teman sewaktu kebingungan mencari-cari apa yang sebenarnya terjadi di masa sekarang. Pada saat mereka pertama kali menginjakkan kaki mereka ke kehidupan para intelektual mereka telah diajarkan untuk bagaimana bisa berfikir dan menelaah secara mendalam dan dari berbagai sisi. Tapi kini, setelah beberapa tahun mendiami dunia para intelektual yang penuh dengan sisi ilmiah mereka melihat banyak kejanggalan yang ternyata hanya layak hadir di dunia para gelandangan.
Masih teringat ketika pertama kali mereka mengikuti acara perkenalan dengan dunia para ilmuwan, mereka datang dan melihat apa yang tidak mereka bayangkan sebelumnya untuk pertama kalinya. Dunia ilmuwan yang katanya penuh dengan sisi moralitas tinggi dan tersistematis serta dapat dipertanggungjawabkan ternyata diperlihatkan dengan sangat berbeda. Apakah benar ini dunia yang seharusnya saya masuki?
Dua sampai empat bulan pertama di dunia indah yang penampilannya tidak diharapkan ternyata perlahan mulai menampakkan kebenaran dan cahaya yang sebernarnya tentang apa dunia yang dimasuki ini. Ternyata dunia gelandangan ini lekat dengan dunia para intelek yang dengan bangganya menyandang tambahan nama di belakang nama mereka sebagai suatu bentuk yang harus dihormati tanpa pengecualian, dan sebaliknya.
Satu sampai dua tahun pertama makin menguatkan hipotesa tentang apa dunia ini sebenarnya. Para penerima gelar yang terhormat ini makin menunjukkan sifat dan watak asli mereka – walaupun tidak semua namun itulah yang mendominasi. Perbuatan dan kelakuan yang semakin membingungkan dan bisa semakin menguatkan keyakinan bahwa dunia intelektual mereka sama dengan dunia para gelandangan.
Pengalaman inilah yang membentuk keyakinan di dada teman-teman yang berdebat di atas. Kita inilah calon penerus bangsa, tapi mengapa kami dibangun dengan hal-hal yang sebenarnya merusak bangsa kami sendiri. Sesi demi sesi yang diberikan oleh para penerima tambahan nama tersebut tak ubahnya seperti sebuah penjajahan berkedok pembebasan selama 100 menit dan terus terjadi bertahun-tahun. Sesi-sesi tersebut dipaksakan atas nama pencerahan yang harus ditularkan kepada orang-orang yang akan ditemui di kehidupan luar di luar dunia ini, kehidupan luar yang digambarkan sangat indah dan tanpa cela.
Lalu bagaimanakah cara membentuk dunia itu ketika orang yang akan membentuknya justru dibentuk dengan hal-hal yang jauh menyimpang dari struktur dunia indah tersebut. Hal-hal menyimpang tersebut bahkan diwujudkan dengan kulit yang bercahaya yang dari jarak 100 meterpun orang dapat mengenalinya.
Hal menyimpang lainnya juga diwujudkan dengan mengajari bagaimana cara berias di depan orang banyak. Walau tidak punya cukup tenaga untuk bekerja, dapat mempengaruhi orang saja sudah cukup. Kalau sudah dapat mempengaruhi orang lewat riasan lalu mengapa harus susah-susah bekerja?
“Iya, tapi dulu kan kita juga gitu”
“Memang, kalau dulu memang begitu”
“Tapi kita sudah melihat semuanya, dan ini tidak bisa terus dibiarkan begitu saja!”
“Lalu kita bisa apa? Mengatakannya di depan mereka? Mereka akan balik menuding kita dan mengatakan kita tidak sopan dan tak tahu etika, bahkan kriminal”
“Lalu kita duduk-duduk di sini saja dan berdoa sambil menunggu superman datang dan mengatakan kebenaran kepada mereka?”
“Sebaiknya kita istirahat saja dulu. Kita sudah sangat kelelahan”
Perdebatan menjadi semakin panjang. Teman-teman ini sudah jenuh dengan ambiguitas yang ditunjukkan di dunia intelektual ini. Semuanya sudah menjurus kepada kebenaran hipotesa mereka di awal. Seluruh kejadian semakin mengarah kepada pembuktian yang jelas bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres di sini. Tingkah laku yang diperlihatkan kepada mereka semakin jelas menuju bahwa mereka sebenarnya sedang dalam proses pembentukan jati diri demi kepentingan yang mereka tidak ketahui, yang jelas kepentingan tersebut bukanlah seperti yang mereka harapkan sejak awal.
Tapi sebenarnya ketiadaan temanlah yang membuat semuanya menjadi semakin parah. Keyakinan yang terbukti secara terang diredupkan oleh ketiadaan orang-orang dekat yang mau sama-sama menunjukkan cahaya yang terang itu sebenarnya, bukan cahaya palsu yang tampak dari jarak 100 meter itu. Segala usaha yang diupayakan demi menunjukkan cahaya sesungguhnya tersebut lenyap ditelan kegelapan yang bernama putus asa, ketakutan dan penjilatan. Cahaya inilah yang sesungguhnya berusaha dipadampakan sejak awal, karena dengan cahaya inilah dunia luar bisa dibentuk dengan struktur yang benar dan dengan pondasi yang tak mampu ditelan oleh kelamnya kegelapan.
Ketiadaan teman juga memberikan pengaruh pada cahaya tersebut sehingga mudah padam, tidak ada penyatuan energi dari cahaya-cahaya kecil yang dibawa oleh pertemanan. Walaupun cahaya dari seorang teman itu sangat redup ketika mereka disatukan maka teranglah dunia intelektual ini. Dengan memiliki banyak sumber cahaya maka cahaya-cahaya redup ini dapat dengan mudah dihidupkan kembali apabila salah satu cahaya redup tersebut padam.
Ketiadaan teman juga telah meremukkan struktur dalam cahaya tersebut. Kini cahaya itu telah redup dan strukturnya juga telah rapuh, lalu apa yang bisa diharapkan dari tatanan seperti itu?
“Iya, tapi dulu kan kita juga gitu”
“Memang, kalau dulu memang begitu”
“Tapi kita sudah melihat semuanya, dan ini tidak bisa terus dibiarkan begitu saja!”
“Lalu kita bisa apa? Mengatakannya di depan mereka? Mereka akan balik menuding kita dan mengatakan kita tidak sopan dan tak tahu etika.”
“Lalu kita duduk-duduk di sini saja dan berdoa menunggu superman datang dan mengatakan kebenaran kepada mereka?”
“Sebaiknya kita istirahat saja dulu. Kita sudah sangat kelelahan”
“Tapi kita harus terus berjuang!”
“Iya, tapi jangan butakan matamu akan sekelilingmu. Mereka belum siap untuk itu. Karena hanya untuk merekalah kita memperjuangkan hal ini!”
“Aku bisa memahami kekhawatiranmu. Tapi paling tidak keyakinan ini pernah menerangi segenap ruang hatiku walau kini keyakinan itu kusimpan rapat-rapat di tempat yang kuharapkan bisa ditemukan oleh adik-adik kita dua atau tiga tahun mendatang.”
“Dan jika waktu itu tiba barulah dunia ini diterangi oleh cahayanya tanpa menyisakan sedikitpun kegelapan.”
“Sebaiknya kita berdoa saja.”
2 comment(s):
ndak usah galau,hajar jak....
Cuma dua hal yang bisa diperlihatkan dalam berjuang
1. Keyakinan
2. Semangat
Kalo 'semangat' ilang itu gak terlalu buruk. Soalnya masih ada 'keyakinan'.
Tapi kalo 'keyakinan' ikut ilang dan menjadi kenangan. Bagus 'bunuh diri' jak!!
Ini sama kalo kita gak semangat ibadah ama Tuhan, tapi kita masih ada keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Tapi kalo keyakinan terhadap Tuhan itu ilang juga. Setelah semangat ilang. Waaaduuuh!!!! Bingung juga gue!!????!!
Post a Comment